Orang Jahiliyah dahulu ketika ingin pergi safar atau ingin mengadakan hajatan besar seperti pesta nikah, mereka terlebih dahulu mengundi nasib dengan anak panah.
Ada tiga anak panah yang disiapkan. Salah satunya bertuliskan ‘silakan lakukan’, satunya lagi bertuliskan ‘jangan lakukan’, satunya lagi tidak bertuliskan apa-apa. Anak panah dengan panjang yang sama tersebut itu dikumpulkan di suatu wadah. Lalu dikeluarkan salah satunya. Jika keluar tulisan ‘silakan lakukan’, maka perkara itu akan dikerjakan. Namun jika tertulis ‘jangan lakukan’, maka perkara tersebut tidak akan dilakukan. Jika keluar yang tidak bertuliskan apa-apa, undian nasib tadi akan diulang.
Perkara yang dilakukan di atas, itulah yang dilarang dalam ayat berikut,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS. Al-Maidah: 3)
Di zaman ini pun di tengah-tengah masyarakat kita, masih dilakukan hal yang sama. Ada yang bentuknya dengan meramal hari baik lewat perhitungan weton (neptu). Neptu merupakan salah satu hal yang sering kali dipertimbangkan dalam meramalkan watak seseorang berdasarkan weton kelahirannya. Neptu juga digunakan untuk meramalkan kecocokan jodoh, kecocokan pekerjaan, besarnya rejeki yang dibawa seorang anak dalam keluarganya, dan lain sebagainya. Akhirnya, untuk menentukan tanggal nikah pun dipakai ilmu perhitungan neptu ini. Yang sebenarnya tradisi ini mirip dengan tradisi Jahiliyah yang diingatkan dalam ayat di atas yaitu sama-sama mengundi nasib, ini hari baik ataukah tidak untuk lakukan hajatan.
Sikap yang benar adalah tawakkal dan pasrah penuh pada Allah karena ingat janji Allah,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Kalau ingin memilih mana yang terbaik, bukan dengan cara mengundi nasib, namun lakukanlah shalat istikharah minimal dua raka’at (waktunya bebas di siang atau malam hari) seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikharah dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an. Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a:
“ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINII WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH”
Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.” (HR. Bukhari, no. 7390; dari Jabir bin ‘Abdillah)
Baca selengkapnya di sini tentang shalat istikharah :
Moga jadi perenungan.
Referensi:
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Disusun @ DS, Panggang, Gunungkidul, 19 Ramadhan 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com